Hayo, siapa yang sering belajar islam hanya di internet belaka?
Bagaimana milenial—sebagai pengguna paling besar internet kita kok mengenal islam hanya melalui google belaka dan tanpa diikuti belajar kepada ahli agama secara langsung? Sebelum ke sana, saya ingin bertanya, siapakah kini yang berhak menentukan dan memutuskan tafsir, takwil, lalu bentuk bangunan hukum Islam dari al-Qur’an dan hadist Rasulullah?
Dalam khazanah pemikiran Islam klasik –yang hari ini masih terawat di lembaga-lembaga pesantren—hanya orang-orang ahli yang mendapatkan otoritas tersebut. Yang bukan ahli, dengan sendirinya, sepenuh pengertian dan tahu diri, menjadi pengikut atau bertaklid.
Kita kenal dari sejarah bagaimana diskusi panjang antara Imam Malik dan Imam Syafi’i. Di antaranya tatkala Imam Syafii bertamu ke kediaman Imam Malik dan menyatakan ingin berguru hadits yang memang kondang menjadi kompetensi Imam Malik –tentu ini tak berarti Imam Syafii awam soal hadits.
Imam Malik pun meminta Imam Syafii membacakan kitab Muwatta’, karangan Imam Malik. Imam Syafii membacanya, mendaraskannya, dengan hafal luar kepala. Begitupun Imam Malik menyimaknya dengan seksama dengan cara yang sama: hafal luar kepala. Beberapa kali keduanya terlibat diskusi.
Setiap tiba waktu shalat, keduanya saling mengajukan yang lain untuk memimpin shalat jamaah. Mereka lalu menjadi imam shalat jamaah secara bergiliran. Dari sejarah kita tahu bahwa Imam Syafii menempatkan diri sebagai salah satu murid Imam Malik.
Kini, di kedalaman belantara jaga digital dan sosial media, kepada siapa kita berguru ilmu agama Islam?Mayoritas akan menjawab: link Google, akun media sosial, dan broadcast di grup-grup Wasap.
Mekanisme lalu menjadi sesederhana ini –dengan segala prolematikanya: ketika Anda mencari keterangan soal hukum berjilbab, misal, Anda akan membuka link-link yang ada di halaman pertama mesin pencarian Google. Anda mungkin akan buka satu atau dua link, lalu menabalkan diri telah tahu hukum yang Anda yang cari, kemudian besar potensinya lalu Anda membagikannya di banyak grup atau akun sosmed.
Tidak ada dialog, tidak ada muthala’ah, dan tentu tidak ada lagi konteks pada bangunan pemahaman Anda tentang hukum tersebut. Itu yang Anda temukan, itu yang Anda baca, itu yang Anda pahami, lalu itu pula yang Anda sebarkan di lingkungan keluarga hingga sosial media.
Pertanyaannya ialah tautan macam apakah yang Anda konsumsi? Benarkah itu dari para ahli yang otoritatif di bidangnya? Ataukah, itu hanyalah link-link yang ‘kebetulan’ bertengger di halaman pertama mesin pencarian, entah karena viral ataupun membayar sponsor.
Makanisme memahami Islam begini jika ditarik kepada pertanyaan di awal tulisan ini, “Siapakah yang BERHAK menafsir dan menakwil suatu ayat dari al-Qur’an dan hadits sehingga terbangun sebagai suatu bangunan hukum Islam?” jawabannya adalah Google.
‘Pesantren Google’ ini telah sempurna mengambil-alih majlis-majlis taklim tradisional yang dikenal dan dihuni oleh para pembelajar agama Islam dalam waktu bertahun-tahun dengan melibatkan diri secara intensif pada pelbagai disiplin ilmu terkait, mulai ilmu kebahasaan (nahwu, sharf, mantiq, balaghah) hingga ilmu Ushul Fiqh sebagai metode penafsiran hukum Islam, dan ilmu sejarah, sosialogi, psikologi, dan fenomenologi yang jelas merupakan bagian integral dari realitas jurisprudensi umat Islam.
Google menyederhanakan semua disiplin itu menjadi hanya satu tahap: tampil di halaman pertama. Kita lalu pula mengerti bahwa salah satu risiko besar bagi keawaman ialah kecenderungan pada fanatisme yang berlebihan. Truth claim dan salvation claim menunjam kuat ke lubuk hati dan pangkal pikiran. Bahkan tulang sumsum. Tentu, itu adalah pandangan yang bersumber dari simplifikasi ala Google.
Tepat di hadapan tradisi baru belajar agama Islam inilah posisi para ahli, sang para otoritas keislaman yang telah mengarungi masa panjang dalam mempelajari banyak disiplin ilmu tafsir dan Ushul Fiqh, misal, tersingkirkan begitu saja. Yang ahli, sang rujukan, tak lain adalah Google. Bukan Tafsir al-Mishbah karya Prof. Dr. Quraish Shihab, umpama.
Di hadapan fanatisme yang jelas sempit karena bersumbu pada keterbatasan pengetahuan atawa keawaman itu, karya besar Quraish Shihab menjadi kurang terdengar gaungnya, apalagi dijadikan rujukan primer dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Begitupun nasib Ilmu Rijalul Hadits, Mushthalahul Hadist, hingga Ilmu Matan makin tak populer untuk diselami.
Pokoknya link-link Google di halaman pertama.
Walhasil, kombinasi keawaman yang tercerahkan oleh satu dua link Google plus psikologis fanatisme yang merancak di dalam pikiran dan hati, serta keaktivitannya di sosial media, bersekutu sempurna untuk menyulap sosok-sosok muslim yang merasa benar sendiri, hebat sendiri, dan bahkan terhidayahi sendiri. Semua yang selainnya, sekalipun memiliki landasan mendalam pada khazanah pemikiran salaf, ditampik dengan keras. Tentu, atas dasar fanatisme dan keawaman.
Guyonan beberapa kawan akademisi Studi Islam di kampus yang telah menempuh perjalanan studi panjang dan melelahkan bisa kita jadikan parodi bagi anomali iklim berislam kita kini: “Hari ini pemikiran seorang doktor bahkan bisa dipecundangi tanpa ampun oleh satu kalimat dari sosok entah yang menggunakan nama akun keislaman.
Cukup dengan mendamprat ‘liberal, syiah, kufur’ atau doa yang penuh arogansi macam ‘semoga kamu dapat hidayah’, selesailah itu sebuah tulisan panjang yang dihasilkan dari proses yang serius dan berdarah-darah….”
Inilah faktanya. Para ahli studi Islam dipecundangi sedemikian brutal, vulgar, dan sakrasnya oleh begitu banyak pengguna sosmed yang termehek-mehek pada pemikiran dan paham keislaman tetapi tahunya hanya link ini atau itu.
Wajarlah bila kemudian atmosfir udara keislaman kita menjadi sebegitu riuhnya, ganjilnya, dan sekaligus menggelikannya lantaran teramat limpah-ruahnya pandangan-pandangan dan klaim-klaim yang diproduksi oleh para entah.
Sudah pasti, yang menggetirkan kemudian ialah terus bertumbangannya korban-korban dari umat Islam sendiri yang mudah tersulut, marah, bertikai, berpecah-belah akibat rebutan benar dan menang paham itu. Diperparah oleh ideologisasi dan politisasi yang sengaja dimainkan oleh sejumlah orang yang tendensius yang tanpa malu mengipasi pelbagai ontran-ontran paham itu demi kepentingan ideologis dan politisnya.
Polarisasi umat menjadi sangat benderang di permukaan. Saling berhadapan, saling bermusuhan, dan saling menjatuhkan. Benar-benar biner yang tanpa tedeng aling-aling lagi. Jauh benar dengan iklim diskusi dan dialog sebagaimana dihikayatkan Imam Malik dan Imam Syafii di awal sejarah Islam itu.
Ini tentunya merupakan keadaan yang amat kita sayangkan bila terus-menerus dikembangkan. Perselisihan dan permusuhan menjadi bentangan zaman yang terus melebar di antara kita. Tragisnya, apa yang kita perselisihkan asalinya ‘sekadar’ paham-paham recehan yang tercerabut dari akar pertanggungjawaban metodologis-ilmiahnya sebagaimana yang mestinya dijadikan fondasi oleh siapa pun yang menggali, menafsir, dan menakwil hukum Islam.
Bila kaum muslim yang model begituan diajak menyelami diskusi-diskusi mendalam (misal) tentang al-Qur’n adalah satu hal dan takwil-takwil terhadap al-Qur’an adalah satu hal lainnya, sebagai keniscayaan bagi berjaraknya al-Qur’an sebagai kalamullah yang kudus dengan al-Qur’an sebagai manifestasi pembacaan manusia pada kepelbagai-kemungkinannya yang terbatas yang tentu saja tak lagi kudus, bagaimana kiranya respons yang akan disorongkannya?
Pasti tudingan haram, sesat, liberal, syiah, dan kafir! Takkan jauh-jauh. Sebab isi kepala mereka memang tak pernah beranjak jauh-jauh. Piss….
Penulis adalah AH EDI IYUBENU
SUMBER : ISLAMI.CO